Kisah Nyata...Tujuh kali naik Haji tidak bisa melihat Ka'bah

Sunday 6 July 2008

Sebagai seorang anak yang berbakti kepada orang tuanya, Hasan (bukan
nama sebenarnya), mengajak ibunya untuk menunaikan rukun Islam yang
kelima.

Sarah (juga bukan nama sebenarnya), sang Ibu, tentu senang dengan
ajakan
anaknya itu. Sebagai muslim yang mampu secara materi, mereka memang
berkewajiban menunaikan ibadah Haji.

Segala perlengkapan sudah disiapkan. Singkatnya ibu anak-anak ini
akhirnya
berangkat ke tanah suci. Kondisi keduanya sehat wal afiat, tak kurang
satu
apapun. Tiba harinya mereka melakukan thawaf dengan hati dan niat ikhlas
menyeru panggilan Allah, Tuhan Semesta Alam. "Labaik allahuma labaik,
aku
datang memenuhi seruanMu ya Allah".


Hasan menggandeng ibunya dan berbisik, "Ummi undzur ila Ka'bah (Bu,
lihatlah
Ka'bah)." Hasan menunjuk kepada bangunan empat persegi berwarna hitam
itu.


Ibunya yang berjalan di sisi anaknya tak beraksi, ia terdiam. Perempuan
itu
sama sekali tidak melihat apa yang ditunjukkan oleh anaknya.
Hasan kembali membisiki ibunya. Ia tampak bingung melihat raut wajah
ibunya.
Di wajah ibunya tampak kebingungan. Ibunya sendiri tak mengerti mengapa
ia
tak bisa melihat apapun selain kegelapan. beberapakali ia mengusap-usap
matanya, tetapi kembali yang tampak hanyalah kegelapan.


Padahal, tak ada masalah dengan kesehatan matanya. Beberapa menit yang
lalu
ia masih melihat segalanya dengan jelas, tapi mengapa memasuki Masjidil
Haram segalanya menjadi gelap gulita. Tujuh kali Haji Anak yang sholeh
itu
bersimpuh di hadapan Allah. Ia shalat memohon ampunan-Nya. Hati Hasan
begitu sedih. Siapapun yang datang ke Baitulah, mengharap rahmatNYA.
Terasa
hampa menjadi tamu Allah, tanpa menyaksikan segala kebesaran-Nya, tanpa
merasakan kuasa-Nya dan juga rahmat-Nya.

Hasan tidak berkecil hati, mungkin dengan ibadah dan taubatnya yang
sungguh-sungguh, Ibundanya akan dapat merasakan anugrah-Nya, dengan
menatap
Ka'bah, kelak. Anak yang saleh itu berniat akan kmebali membawa ibunya
berhaji tahun depan. Ternyata nasib baik belum berpihak kepadanya.


Tahun berikutnya kejadian serupa terulang lagi. Ibunya kembali dibutakan
di dekat Ka'bah, sehingga tak dapat menyaksikan bangunan yang merupakan
symbol
persatuan umat Islam itu. Wanita itu tidak bisa melihat Ka'bah.
Hasan tidak patah arang. Ia kembali membawa ibunya ke tanah suci tahun
berikutnya.


Anehnya, ibunya tetap saja tak dapat melihat Ka'bah. Setiap berada di
Masjidil Haram, yang tampak di matanya hanyalah gelap dan gelap.
Begitulah keganjilan yang terjadi pada diri Sarah.. hingga kejadian itu
berulang
Sampai tujuh kali menunaikan ibadah haji.

Hasan tak habis pikir, ia tak mengerti, apa yang menyebabkan ibunya
menjadi buta di depan Ka'bah. Padahal, setiap berada jauh dari Ka'bah,
penglihatannya selalu normal. Ia bertanya-tanya, apakah ibunya punya
kesalahan sehingga mendapat azab dari Allah SWT ?. Apa yang telah
diperbuat
ibunya, sehingga mendapat musibah seperti itu ? Segala pertanyaan
berkecamuk dalam dirinya. Akhirnya diputuskannya untuk mencari seorang
alim ulama, yang dapat membantu permasalahannya.


Beberapa saat kemudian ia mendengar ada seorang ulama yang terkenal
Karena kesholehannya dan kebaikannya di Abu Dhabi (Uni Emirat). Tanpa
kesulitan
berarti, Hasan dapat bertemu dengan ulama yang dimaksud.


Ia pun mengutarakan masalah kepada ulama yang saleh ini. Ulama itu
mendengarkan dengan seksama, kemudian meminta agar Ibu dari hasan mau
menelponnya. anak yang berbakti ini pun pulang. Setibanya di tanah
kelahirannya, ia meminta ibunya untuk menghubungi ulama di Abu Dhabi
tersebut. Beruntung, sang Ibu mau memenuhi permintaan anaknya. Ia pun
mau
menelpon ulama itu, dan menceritakan kembali peristiwa yang dialaminya
di
tanah suci. Ulama itu kemudian meminta Sarah introspeksi, mengingat
kembali, mungkin ada perbuatan atau peristiwa yang terjadi padanya di
masa lalu,
sehingga ia tidak mendapat rahmat Allah. Sarah diminta untuk bersikap
terbuka, mengatakan dengan jujur, apa yang telah dilakukannya.

"Anda harus berterus terang kepada saya, karena masalah Anda bukan
masalah sepele," kata ulama itu pada Sarah. Sarah terdiam sejenak.
Kemudian ia
meminta waktu untuk memikirkannya. Tujuh hari berlalu, akan tetapi ulama
itu tidak mendapat kabar dari Sarah. Pada minggu kedua setelah
percakapan
pertama mereka, akhirnya Sarah menelpon. "Ustad, waktu masih muda, saya
bekerja sebagai perawat di rumah sakit," cerita Sarah akhirnya. "Oh,
bagus.....Pekerjaan perawat adalah pekerjaan mulia," potong ulama itu.


"Tapi saya mencari uang sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara, tidak
peduli,
apakah cara saya itu halal atau haram," ungkapnya terus terang. Ulama
itu
terperangah. Ia tidak menyangka wanita itu akan berkata demikian.

"Disana...." sambung Sarah, "Saya sering kali menukar bayi, karena tidak
semua ibu senang dengan bayi yang telah dilahirkan. Kalau ada yang
menginginkan anak laki-laki, padahal bayi yang dilahirkannya perempuan,
dengan imbalan uang, saya tukar bayi-bayi itu sesuai dengan keinginan
mereka."

Ulama tersebut amat terkejut mendengar penjelasan Sarah.
"Astagfirullah. ....." betapa tega wanita itu menyakiti hati para ibu
yang
diberi amanah Allah untuk melahirkan anak. bayangkan, betapa banyak
keluarga yang telah dirusaknya, sehingga tidak jelas nasabnya.

Apakah Sarah tidak tahu, bahwa dalam Islam menjaga nasab atau keturunan
sangat penting.


Jika seorang bayi ditukar, tentu nasabnya menjadi tidak jelas. Padahal,
nasab ini sangat menentukan dalam perkawinan, terutama dalam masalah
mahram
atau muhrim, yaitu orang-orang yang tidak boleh dinikahi.


"Cuma itu yang saya lakukan," ucap Sarah. "Cuma itu ?" tanya ulama
terperangah. "Tahukah anda bahwa perbuatan Anda itu dosa yang luar
biasa,
betapa banyak keluarga yang sudah Anda hancurkan !". ucap ulama dengan
nada tinggi.

"Lalu apa lagi yang Anda kerjakan ?" tanya ulama itu lagi sedikit kesal.
"Di rumah sakit, saya juga melakukan tugas memandikan orang mati."
"Oh bagus, itu juga pekerjaan mulia," kata ulama. "Ya, tapi saya
memandikan orang mati karena ada kerja sama dengan tukang sihir."
"Maksudnya ?". tanya ulama tidak mengerti. "Setiap saya bermaksud
menyengsarakan orang, baik membuatnya mati atau sakit, segala perkakas
sihir itu sesuai dengan syaratnya, harus dipendam di dalam tanah. Akan
tetapi
saya tidak menguburnya di dalam tanah, melainkan saya masukkan
benda-benda itu
ke dalam mulut orang yang mati."

"Suatu kali, pernah seorang alim meninggal dunia. Seperti biasa, saya
memasukkan berbagai barang-barang tenung seperti jarum, benang dan
lain-lain ke dalam mulutnya. Entah mengapa benda-benda itu seperti
terpental, tidak
mau masuk, walaupun saya sudah menekannya dalam-dalam. Benda-benda itu
selalu kembali keluar. Saya coba lagi begitu seterusnya berulang-ulang.
Akhirnya, emosi saya memuncak, saya masukkan benda itu dan saya jahit
mulutnya. Cuma itu dosa yang saya lakukan." Mendengar penuturan Sarah
yang datar dan tanpa rasa dosa, ulama itu berteriak marah.
"Cuma itu yang kamu lakukan ?". "Masya Allah....!!! Saya tidak bisa
bantu
anda. Saya angkat tangan".
Ulama itu amat sangat terkejutnya mengetahui perbuatan Sarah. Tidak
pernah
terbayang dalam hidupnya ada seorang manusia, apalagi ia adalah wanita,
yang memiliki nurani begitu tega, begitu keji. Tidak pernah terjadi
dalam
hidupnya, ada wanita yang melakukan perbuatan sekeji itu. Akhirnya ulama
itu berkata, "Anda harus memohon ampun kepada Allah, karena hanya Dialah
yang
bisa mengampuni dosa Anda."

Bumi menolaknya. Setelah beberapa lama, sekitar tujuh hari kemudian
ulama
tidak mendengar kabar selanjutnya dari Sarah. Akhirnya ia mencari tahu
dengan menghubunginya melalui telepon. Ia berharap Sarah telah bertobat
atas segala yang telah diperbuatnya. Ia berharap Allah akan mengampuni
dosa
Sarah, sehingga Rahmat Allah datang kepadanya. Karena tak juga
memperoleh
kabar, ulama itu menghubungi keluarga Hasan di mesir. Kebetulan yang
menerima telepon adalah Hasan sendiri. Ulama menanyakan kabar Sarah,
ternyata kabar duka yang diterima ulama itu.

"Ummi sudah meninggal dua hari setelah menelpon ustad," ujar Hasan.
Ulama
itu terkejut mendengar kabar tersebut. "Bagaimana ibumu meninggal,
Hasan ?".
tanya ulama itu. Hasanpun akhirnya bercerita :


Setelah menelpon sang ulama, dua hari kemudian ibunya jatuh sakit dan
meninggal dunia. Yang mengejutkan adalah peristiwa penguburan Sarah.
Ketika tanah sudah digali, untuk kemudian dimasukkan jenazah atas ijin
Allah,
tanah itu rapat kembali, tertutup dan mengeras. Para penggali mencari
lokasi
lain untuk digali. Peristiwa itu terulang kembali. Tanah yang sudah
digali
kembali menyempit dan tertutup rapat. Peristiwa itu berlangsung begitu
cepat, sehingga tidak seorangpun pengantar jenazah yang menyadari bahwa
tanah itu kembali rapat. Peristiwa itu terjadi berulang-ulang.
Para pengantar yang menyaksikan peristiwa itu merasa ngeri dan
merasakan
sesuatu yang aneh terjadi. Mereka yakin, kejadian tersebut pastilah
berkaitan dengan perbuatan si mayit.

Waktu terus berlalu, para penggali kubur putus asa dan kecapaian karena
pekerjaan mereka tak juga usai. Siangpun berlalu, petang menjelang,
bahkan
sampai hampir maghrib, tidak ada satupun lubang yang berhasil digali.
Mereka
akhirnya pasrah, dan beranjak pulang. Jenazah itu dibiarkan saja
tergeletak
di hamparan tanah kering kerontang.

Sebagai anak yang begitu sayang dan hormat kepada ibunya, Hasan tidak
tega
meninggalkan jenazah orang tuanya ditempat itu tanpa dikubur. Kalaupun
dibawa pulang, rasanya tidak mungkin. Hasan termenung di tanah
perkuburan
seorang diri. Dengan ijin Allah, tiba-tiba berdiri seorang laki-laki
yang
berpakaian hitam panjang, seperti pakaian khusus orang Mesir. Lelaki
itu
tidak tampak wajahnya, karena terhalang tutup kepalanya yang menjorok
ke
depan. Laki-laki itu mendekati Hasan kemudian berkata padanya," Biar aku
tangani jenazah ibumu, pulanglah!". kata orang itu.

Hasan lega mendengar bantuan orang tersebut, Ia berharap laki-laki itu
akan
menunggu jenazah ibunya. Syukur-syukur mau menggali lubang untuk
kemudian
mengebumikan ibunya. "Aku minta supaya kau jangan menengok ke belekang,
sampai tiba di rumahmu, "pesan lelaki itu. Hasan mengangguk, kemudian ia
meninggalkan pemakaman. Belum sempat ia di luar lokasi pemakaman,
terbersit
keinginannya untuk mengetahui apa yang terjadi dengan kenazah ibunya.
Sedetik kemudian ia menengok ke belakang. Betapa pucat wajah Hasan,
melihat jenazah ibunya sudah dililit api, kemudian api itu menyelimuti
seluruhtubuh ibunya. Belum habis rasa herannya, sedetik kemudian dari
arah yang
berlawanan, api menerpa wajah Hasan. Hasan ketakutan. Dengan langkah
seribu,
ia pun bergegas meninggalkan tempat itu.

Demikian yang diceritakan Hasan kepada ulama itu. Hasan juga mengaku,
bahwa
separuh wajahnya yang tertampar api itu kini berbekas kehitaman karena
terbakar. Ulama itu mendengarkan dengan seksama semua cerita yang
diungkapkan Hasan. Ia menyarankan, agar Hasan segera beribadah dengan
khusyuk dan meminta ampun atas segala perbuatan atau dosa-dosa yang
pernah
dilakukan oleh ibunya. Akan tetapi, ulama itu tidak menceritakan kepada
Hasan, apa yang telah diceritakan oleh ibunya kepada ulama itu.

Ulama itu meyakinkan Hasan, bahwa apabila anak yang soleh itu memohon
ampun
dengan sungguh-sungguh, maka bekas luka di pipinya dengan ijin Allah
akan
hilang. Benar saja, tak berapa lama kemudian Hasan kembali mengabari
ulama
itu, bahwa lukanya yang dulu amat terasa sakit dan panas luar biasa,
semakin
hari bekas kehitaman hilang. Tanpa tahu apa yang telah dilakukan ibunya
selama hidup, Hasan tetap mendoakan ibunya. Ia berharap, apapun
perbuatan
dosa yang telah dilakukan oleh ibunya, akan diampuni oleh Allah SWT.


Uang Rp 50.000 atau S$50 kelihatan begitu besar bila dibawa ke kotak
derma masjid, tetapi begitu kecil bila kita bawa ke supermarket. 45
menit terasa
terlalu lama untuk berzikir tapi betapa pendeknya waktu itu untuk
pertandingan bola sepak. Semua insan ingin memasuki syurga tetapi tidak
ramai yang berfikir dan berbicara tentang bagaimana untuk memasukinya.

Kita mengirimkan ribuan 'jokes' dan 'suratberantai' melalui e-mail
tetapi
bila! mengirimkan yang berkaitan dengan ibadah seringkali berfikir 2
atau 3 kali.

OLEH ITU JANGAN BIARKAN DIRI KITA INI MENJADI SEBAHAGIAN DARI KELUCUAN
TERSEBUT,
INSYA'ALLAH.
Wassalamualaikum Wr.Wb.

0 comments: